Visi Hidup Seorang Muslim

Oleh : Abdul Rahman Sakka
Belajar Dari Sahabat
Sahabat Rabi’ah bin al-Ka’ab al-Aslami menceritakan pengalaman pribadinya bersama Rasulullah SAW.
كُنْتُ أَبيِتُ مَعَ رَسُولِ الله صَلى اللهُ عَلَيه وَسَلّم، فَآتيَه بِوَضُوئهِ وَحَاجتِهِ، فَقَالَ لي: “سَلْ”، فَقُلْتُ: أَسْألُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الجَنَّةِ! قَالَ: “أَوَغَيْرَ ذَلِكَ؟ “، فَقُلْتُ: هُوَ ذاَكَ، قَالَ: “فَأَعِنِّي عَلَى نَفِسِكَ بِكَثْرةِ السُّجّودِ
Artinya: Saya bermalam bersama Rasulullah SAW, lalu aku membawakan air wudunya dan air untuk hajatnya, maka beliau bersabda kepadaku, ‘Mintalah kepadaku.’ Maka aku berkata, ‘Aku meminta kepadamu agar aku menemanimu di surge. Beliau berkata, atau ada selain itu’. Aku menjawab, Itulah. Maka beliau menjawab, bantulah aku untuk mewujudkan keinginanmu dengan banyak melakukan sujud’.” HR. Muslim

Hadis ini diriwayatkan dan dicatatkan oleh beberapa perawi di antaranya Muslim bin al-Hajjaj, Abu Daud al-Sa(i)jastani, al-Nasai, dan al-Baihaqi. Semua perawi meriwayatkan hadisnya dari jalur yang sama yakni Rabi’ah bin al-Ka’ab. Dengan demikian hadis ini dari sisi kuantitas (jumlah jalur) merupakan hadis garib. Sedangkan dari sisi kualitas, berkualitas sahih. Salah seorang yang meriwayatkannya adalah Muslim bin al-Hajjaj dalam kitab sahihnya yang disepakati mayoritas ulama sebagai kitab kumpulan hadis sahih.

Rabiah bin Ka’ab adalah seorang sahabat Rasulullah SAW dari golongan fukara al-muhajirin (kaum muhajir yang fakir). Ia tidak punya rumah tetap sehingga tinggalnya di pelataran masjid Nabawi bersama para ashabus suffah lainnya, dan makan dari pemberian Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya. Siang malam ia mengabdikan diri melayani Rasulullah SAW mengambil air di sumur lalu menyiapkannya untuk wudhu dan untuk kebutuhan hajatnya.
Perlu dipahami bahwa banyak kaum Muhajirin yang hijrah ke Madinah awalnya bukanlah orang miskin dan tidak punya harta. Demikian pula Rabi’ah boleh jadi kefakiran yang menyelimuti dirinya di Madinah bukan karena memang ia fakir sejak di Mekkah, tetapi ia menjadi fakir karena terusir dari kampung halaman dan harta bendanya karena memilih mencari karunia dari Allah SWT SWT dan keridhaanNya dan ingin menolong Allah SWT SWT dan RasulNya.

Dedikasi Rabi’ah dalam melayani Rasulullah SAW, membuat Rasulullah SAW menawarkan kepadanya untuk meminta sesuatu. Ia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan berharga tersebut yang baginya sulit terulang untuk kedua kalinya. Ia meminta sesuatu yang terbaik baginya, yakni memohon agar bisa membersamai Rasulullah SAW di surga. Namun Rasulullah SAW bertanya kembali “adakah sesuatu yang lain?” Pertanyaan ulang Rasulullah SAW boleh jadi karena beliau ingin memastikan adakah kebutuhan mendesaknya, atau memiliki keinginan lain?. Misalnya minta didoakan agar keluar dari kefakirannya sebagaimana yang dilakukan Sa’labah. Ternyata Rabiah tidak punya permintaan lain, ia hanya ingin membersamai Rasulullah SAW di surga.
Cerita indah Rabiah bin Ka’b di atas merupakan penggalan kisah sosok sahabat yang memiliki himmah, obsesi tinggi, harapan besar dan visi hidup yang jelas. Visi hidup Rabi’ah jauh ke depan yaitu visi akhirat. Rabiah tidak meminta harta benda, tidak minta didoakan agar keluar dari kefakirannya. Meskipun sesungguhnya ia sadar bahwa semua itu juga diperlukan dan paham bahwa seseorang akan terbatas menjalankan agamanya jika tidak memiliki harta.

Kisah sekelompok sahabat yang datang kepada Rasulullah SAW mengeluhkan kondisi kefakirannya sehingga merasa tidak bisa bersaing dengan sahabatnya yang diberi kelebihan harta dalam beragama menunjukkan bahwa para sahabat memiliki pemahaman yang jelas tentang kedudukan harta dalam beragama. Siapa pun yang punya kelapangan rezki dan limpahan harta memiliki peluang untuk beribadah lebih banyak dibanding orang miskin, khususnya dalam ibadah harta.
Rabi’ah bin Ka’ab tidak memilih untuk menjadi kaya supaya bisa berzakat, bersedekah dan kebaikan lainnya. Ia lebih memilih mendapatkan jaminan surga. Bagaimanapun surga adalah tujuan. Tampaknya Rabi’ah membuat skala prioritas dengan mengedepankan kepastian visi dan atau cita-cita besarnya bisa terwujud.
Seorang muslim sejatinya memiliki visi hidup yang jelas dan terarah. Visi yang dimaksudkan di sini adalah masa depan, cita-cita tertinggi, tujuan utama yang ingin dicapai. Seorang muslim yang menyadari bahwa ia hanyalah seorang pengembara asing di dunia yang singkat, tidak akan membangun visi untuk kehidupannya yang sementara, tetapi ia akan membangun visi untuk kehidupannya yang abadi, visi akhirat. Visi utama dan tertinggi seorang muslim adalah meraih ridha Allah SWT di dunia dan di akhirat sebagai nikmat termulia dari Allah SWT Yang Maha Rahman. Visi inilah yang tercantum dalam ayat sekaligus doa; “Rabbana atina fi al-dunia hasana wa fi al-akhirat hasanah wa qina ‘azaban al-Nar.”

Penting bagi seorang muslim memiliki visi hidup yang jelas dan terarah dalam menjalani pengembaraannya yang singkat. Sebab visi akan membentuk karakter seseorang. Visi akan mempengaruhi cara pandang, kekuatan perasaan, cara mengambil keputusan dan tindakan, serta dapat membentuk keyakinan yang kuat.
Umar bin Khattab ketika menjabat sebagai khalifah pemimpin tertinggi umat Islam rela mengangkat sekarung besar gandum di atas pundaknya sendiri hingga keringatnya bercucuran di tubuhnya demi melayani rakyatnya yang sedang kelaparan. Apa yang dilakukan Umar bukanlah pencitraan sebagaimana sering dilakukan oleh pemimpin zaman sekarang, tetapi potret pemimpin dan penguasa di dunia tetapi visinya akhirat. Perbuatannya memikul sendiri gandum karena ia sadar telah lalai dalam memimpin dan melakukan kesalahan dalam melayani rakyatnya yang kelak di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban. Ia pun berkata kepada Abbas sahabatnya; “tidak akan saya biarkan kamu membawa dosa-dosa saya di akhirat” Inilah Umar bin Khattab, menjadi pemimpin dan penguasa di dunia tetapi visinya akhirat.
Abdurrahman bin Auf telah menginfakkan seluruh hartanya pada saat perang Tabuk. Ketika ditanya oleh Rasulullah SAW “Apakah kamu meninggalkan uang belanja untuk keluargamu? Ia jawab; saya meninggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan, yaitu sebanyak rezeki, kebaikan dan pahala yang dijanjikan Allah SWT. Inilah Abdurrahman bin Auf, sang konglomerat yang bergelar tangan emas dikaruniai limpahan materi di dunia tetapi visinya akhirat. Ia kaya raya tetapi kekayaannya tidak ditimbun dan disimpan sebagai kekayaan duniawi melainkan dibelanjakan di jalan Allah SWT sebagai tindakan mewujudkan visi akhiratnya.

Hal yang berbeda dengan orang kaya yang banyak harta tetapi tidak memiliki visi hidup yang jelas, maka ia akan menimbun hartanya dan menghimpun kekayaannya lalu menghitung dan terus menghitungnya sehingga menjadi kikir dan sangat berat untuk berinfak di jalan Allah SWT karena menduga semua itu akan membahagiakan dan mengekalkannya di dunia.

Memang, berbeda antara orang kaya yang punya visi hidup yang jelas dengan yang tidak memiliki. Orang kaya yang tidak punya visi hidup akan ketahuan sebagai orang kaya karena menimbun harta, memamerkannya, assetnya ada di mana-mana, kendaraannya banyak dan lain sebagainya, sebagaimana Karun. Sedangkan orang kaya yang punya visi hidup akan ketahuan sebagai orang kaya karena kedermawanannya, seperti Abdurrahman bin Auf. Ia pernah berinfak 400 dinar emas, 200 uqiyah emas, 500 ekor kuda, dan 1500 unta. Muslim kaya yang memiliki visi hidup yang jelas kesehariannya sederhana, sedangkan orang kaya yang tidak punya visi hidup yang jelas, kesehariannya bergelimang kemewahan harta.

Seorang Muslim yang memiliki visi hidup, kesibukan dan akitivitasnya di dunia diorientasikan untuk mencapai tujuan akhiratnya. Tujuan itu tidak boleh terhalangi oleh apa pun. Apa pun penghalangnya maka harus disingkirkan dan jauhkan. Demikianlah yang dilakukan Abu Talhah ketika suatu hari bekerja di kebunnya hingga tak menyadari matahari sudah hampir terbenam, sehingga ia melaksanakan salat di ujung waktu. Selesai salat bergegas menemui Rasulullah SAW dan menyedekahkan kebun kurmanya tersebut beserta isinya.
Tindakan Abu Talhah menyedekahkan kebunnya hanya karena telah melalaikannya melaksanakan salat asar bisa saja dianggap tindakan yang ekstrim. Toh, cukup dengan memohon ampun atas kelalainnya, maka Allah SWT akan mengampuninya. Kemudian dosanya tersebut bisa ditutupi dengan kebaikan yang lebih banyak cara menyedekahkan hasil kebunnya itu. Namun ia memilih melepas kebunnya boleh jadi berangkat dari kekhawatiran dirinya bahwa, jika ia masih mengurusi kebun tersebut, maka kebun itu masih dapat melalaikannya kembali. Padahal Rasulullah SAW telah mengingatkan bahwa; “seorang Muslim yang baik tidak akan terjatuh dalam lubang (dosa) yang sama dua kali”

Perbanyak Sujud
Perintah Rasulullah SAW kepada Rabi’ah untuk memperbanyak sujud yang disebutkan di akhir hadis dapat dipahami dalam dua hal; Pertama; Sebagai penguatan. Rasulullah SAW sangat paham titik kelemahan sahabatnya dalam beragama dan aspek apa yang perlu dikuatkan. Seringkali Rasulullah SAW memberikan jawaban yang berbeda dari pertanyaan yang sama dan memberikan solusi yang tidak sama dari persoalan yang serupa. Ketika Rasulullah SAW memerintahkan Rabi’ah bin Ka’ab untuk memperbanyak sujud tidak dipahami bahwa hanya dengan banyak sujud saja satu-satunya amalan yang akan mengantarkan seseorang masuk surga dan bisa bersama Rasulullah SAW di surga. Namun, Rasulullah SAW memerintahkannya untuk memperbanyak sujud karena aspek tersebut kurang pada diri Rabi’ah sehingga perlu dikuatkan.

Kedua, Keutamaan sujud. Sujud memang memiliki kekhususan dan keutamaan sebagai sarana istimewa yang diajarkan Rasulullah SAW. Ada banyak hadis yang menjelaskan keutamaan sujud. Maka ketika Rabi’ah diperintahkan untuk memperbanyak sujud adalah untuk menggapai keutamaannya sebagai sarana ibadah yang ideal.

Menurut ulama, perintah sujud yang disebutkan dalam hadis ini adalah sujud dalam salat. Karena itu dipahami bahwa maksud memperbanyak sujud adalah memperbanyak salat. Menurut Usaimin memperbanyak sujud dengan sendirinya memperbanyak ruku’ dan memperbanyak ruku’ lazim memperbanyak berdiri, karena salat di setiap rakaatnya ada ruku dan dua kali sujud.
Di antara keutamaan sujud dalam salat adalah; salat merupakan posisi yang paling ideal (afdal) untuk dekat dengan Allah SWT. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa, sujud bertujuan merendahkan (tawad’u) dan memperhambakan diri (‘ubudiyah) kepada Allah SWT. Hal itu karena saat posisi sujud memungkinkan anggota badan yang teratas yakni wajah menjadi di bawah menempel dengan tanah yang biasa diinjak dan sejajar dengan kaki. Sujud akan membantu mensucikan jiwa dari sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat mulia. Saat sujud seorang hamba akan berada sangat dekat dengan Allah SWT SWT. Sebagaimana Rasulullah bersabda; Sedekat-dekatnya seorang hamba dengan Tuhannya adalah saat ia sujud, maka perbanyaklah sujud. HR. Muslim

Ulama menyepakati bahwa maksud memperbanyak sujud dalam hadis ini adalah salat sunah bukan salat wajib. Memperbanyak sujud dapat ditinjau dari aspek kuantitas dan kualitasnya. Dari aspek kuantitas, dengan memperbanyak jumlah bilangan sujud atau jumlah berdiri atau rakaat pada salat-salat sunah bukan salat wajib lima waktu, karena salat wajib telah ditetapkan jumlah rakaatnya 17 rakaat dan 34 jumlah sujud. Salat sunah dapat dilaksanakan seberapa pun jumlah rakaatnya tanpa batas sesuai kesanggupan. Sedangkan maksud dari aspek kualitas adalah berusaha menggapai kesempurnaan salat dengan menjaga syarat, rukun dan sunah salat, serta kekhusyuan.

Melaksanakan salat sunah perlu ada keseimbangan antara kualitas dan kuantitas. Tidak dibenarkan mengejar banyaknya jumlah rakaat atau jumlah sujud lantas tidak memperhatikan kualitas. Seperti salat tarwih 23 rakaat dengan super singkat yang diamalkan sekelompok orang sehingga aspek tumaninahnya hilang yang dengan sendirinya kekhusyuan dalam salat juga pasti sulit didapatkan. Demikian pula tidak menjadi baik orang yang terlalu lama dalam berdiri, ruku dan sujud sehingga melewati batas-batas kewajaran. Bagaimana pun keseimbangan antara kualitas dan kuantitas dalam salat merupakan hal utama yang harius diperhatikan.

Harapan Rabi’ah bin Ka’ab untuk bisa membersamai Rasulullah SAW di surga dalam potret muslim ideal yang memiliki visi hidup yang jelas. Pesan Rasulullah SAW kepadanya untuk memperbanyak sujud jika ingin bersamanya di surga menggambarkan hubungan antara visi dan misi sebagai hubungan yang kuat. Sebuah visi akan terwujud jika diikuti dengan misi yang jelas pula. Misi merupakan penjabaran terhadap langkah strategis yang akan diambil dan program prioritas apa yang akan dipilih untuk mewujudkan visi. Maka visi harus dibangun dengan kokoh, kemudian ditindaklanjuti dengan menjalankan misi. Allahu ‘alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *