Tawaf: Miniatur Kolaborasi dan Kesatuan Muslim

Oleh: Dr. Ammar Munir, Lc., M.Th.I

Meskipun pemberangkatan Haji tahun ini resmi ditiadakan dari Negara kita Indonesia dan Negara-negara lain imbas Pandemi Covid19 yang belum mereda, namun aktivitas Haji dan tawaf akan tetap berlangsung meski hanya terbatas pada penduduk lokal Saudi Arabia.

Di antara keindahan ajaran Islam yg hampir luput dari perhatian kita adalah prosesi tawaf yang senantiasa wajib dilakukan oleh mereka yang tengah melaksanakan prosesi Haji atau Umrah. Hampir setiap hari kita menyaksikan dari televisi, lautan manusia berpusar melaksanakan tawaf mengelilingi Ka’bah tidak pernah berhenti dan terputus seperti tidak pernah berhenti dan lelahnya matahari terbit dan tenggelam setiap hari. Harmoni tawaf layaknya harmoni matahari.

Tawaf menggambarkan keserasian dan keharmonisan yang terjalin di antara seluruh elemen manusia, seperti keserasian alam yang tunduk pada aturan yang telah ditetapkan pencipta-Nya..
… وَلۡیَطَّوَّفُوا۟ بِٱلۡبَیۡتِ ٱلۡعَتِیقِ
“… Dan hendaknyalah mereka bertawaf di rumah tua/ka’bah” (Alhajj:29)

Di Masjidil Haram dapat terlihat dari atas jembatan penyeberangan ke lantai dasar masjid, sepotong keindahan dalam pelaksanaan tawaf. Keserasian dalam gerak, keserasian dalam warna yang walaupun nampak berbeda tetapi dapat berpadu, walaupun beragam tetap dapat bersatu.

Dalam tawaf kita belajar bahwa kaum muslim dipersatukan dengan menyembah Allah dan mendekatkan diri meskipun mereka berada dalam kondisi berdesak-desakan dalam lautan manusia. Laki-laki- wanita, orang tua- anak-anak, kaya- miskin, Arab- non Arab, terpelajar- orang biasa, walaupun berbeda pandangan mazhab fiqih dan aqidah, mereka tetap menyembah Allah dengan khusyu’ dan dengan penuh keteraturan.

Setiap muslim, meskipun berbeda-beda negara asalnya, disekat oleh wilayah dan perbatasan, berbeda keadaan politik di negaranya, tetap harus bertawaf sesuai dengan arah yang sama, dan sholat di bawah kepemimpinan Imam yg sama.

Ka’bah akan terus berdiri semenjak Nabi Ibrahim as merekonstruksi ulang bersama anaknya, Nabi Ismail as. Dia mengangkat pondasinya, berdiri di salah satu rukunnya lalu memanggil manusia untuk berhaji.
وَأَذِّن فِی ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَجِّ یَأۡتُوكَ رِجَالࣰا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرࣲ یَأۡتِینَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِیقࣲ
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (Alhajj: 27)

Semenjak itu manusia tdk pernah berhenti melaksanakan tawaf, berdiri, ruku’, dan sujud mengharap keutamaan dan ridho Allah Swt.
… رُكَّعࣰا سُجَّدࣰا یَبۡتَغُونَ فَضۡلࣰا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَ ٰ⁠نࣰاۖ
“…mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya…(Alfath:29)

Pembaruan panggilan tauhid dan cahayanya kembali dibawa oleh Nabi Muhammad Saw., yg melakukan purifikasi (pensucian) ka’bah dari ibadah kepada patung dan berhala. Mengingatkan Umatnya untuk beribadah hanya kepada Rabb yang satu, dan menyatukan mereka dalam shaf dan kiblat yang sama.

Dan pada haji wada sebelum Nabi wafat, beliau mengingatkan kembali kepada para Hujjaj (Peserta Haji) bahwa mereka berasal dari asal yg sama dari bapak yg sama, dari Adam dan Adam berasal dari tanah.

Olehnya itu, sejatinya kaum muslimin selama melaksanakan ritual tawaf menghayati makna dari khutbah wada’ yang disampaikan Nabi bahwa mereka berasal dari satu kesatuan yg sama, dari bapak yg sama yaitu Adam, dan Adam berasal dari tanah, dan Tuhan mereka satu, tidak ada perbedaan antara Arab dan Ajam, kulit putih atas kulit hitam, dan bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.

Tawaf sebagai miniatur kecil kolaborasi dan kesatuan muslim, harusnya bisa ditarik dalam skup yang lebih luas. Banyak persoalan umat Islam hari ini belum dapat terselesaikan karna egosentris dari tiap pemeluknya.

Olehnya itu menarik menjawab pernyataan Amir Syakib Arsalan (1869-1946), “Mengapa muslim terbelakang, sedang selainnya maju?”. Salah satu jawabannya mungkin karena dalam realitas kehidupan, mereka saling sikut, saling serang, dan tidak pernah akur.

Saya katakan jika sekira muslimin mampu memperlihatkan ke dunia sisi keindahan Islam seperti ketika mereka sedang tawaf, dengan wajah yg lebih modern dan beradab tentunya dapat memperbaiki citra Islam dan menjadi solusi bagi problematika manusia hari ini.

Tetapi ketika mereka masih saling menyerang dan berkonflik tentunya hanya malapetaka dan musibah yang akan terus dipanen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *