Oleh : Abdul Rahman Sakka
Ketika Rasulullah SAW hijrah ke Madinah (tahun 622 M), para sahabat-sahabat beliau yang setia mengikutinya berhijrah baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Di antara sahabatnya, terdapat seorang wanita salihah bernama Ummu Qais tidak mau ketinggalan untuk segera berhijrah meskipun harus meninggalkan kampung halamannya. Saat akan berangkat, seorang pria datang melamarnya. Sebagai wanita, Ummu Qais tentu merasa gembira karena ada reski jodoh yang masuk ke dalam rumahnya. Namun, ia lebih memilih hijrah mengikuti Rasulullah SAW daripada menikah. Cintanya kepada Allah dan RasulNya mengalahkan keinginannya untuk menikah.
Laki-laki yang datang melamar tersebut tidak ingin cintanya kepada Ummu Qais kandas hanya karena persoalan hijrah. Jarak 450 km bukan menjadi penghalangnya. Meninggalkan kampung halaman adalah pengorbanan yang harus dilalui. Ia pun memilih ikut hijrah meski dengan terpaksa demi cintanya kepada Ummu Qais. Akhirnya keinginannya tersebut berbuah manis. Ia berhasil menikahinya setelah sampai di Madinah.
Kisah Ummu Qais dan laki-laki tersebut tersebar luas di kalangan kaum muslimin Madinah, hingga sampai kepada Nabi SAW. Nabi SAW lalu menanggapinya dan menjadikannya sebagai latar belakang (sabab al-wurud) pesan penting tentang prinsip ajaran Islam. Sabda Nabi SAW tersebut, oleh Umar bin Khattab disampaikannya kembali pada saat khutbah. Dari khutbahnya itulah, pesan Nabi SAW tersiar secara berkesinambungan di tangan perawi hadis dari generasi ke gerasi hingga kita pun bisa membacanya.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Dari ‘Umar bin Khattab ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “perbuatan itu semata-mata (hanyalah) tergantung pada niat). Seseorang hanyalah akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya. Siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena ingin mendapatkan dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” HR. Bukhari dan Muslim
Hadis ini popular dikenal sebagai hadis Umar bin Khattab karena hampir seluruh hadis yang diriwayatkan dan dibukukan oleh para perawi berasal dari jalurnya. Karena itu ada banyak ulama menetapkan sebagai hadis garib (jalur tunggal). Namun pendapat ini kurang kuat karena ada riwayat lain yang melalui jalur Abu Sa’id al-Khudri.
Ulama menempatkan hadis ini sebagai landasan pokok ajaran Islam. Abu Daud berkata bahwa hadis ini mewakili setengah dari Islam. Pada hakikatnya Islam meliputi dua aspek utama; aspek lahiriah yaitu amal perbuatan, sedangkan niat termasuk aspek batiniyah. Imam al-Syafii dan Ahmad bin Hanbal berkata bahwa hadis niat sepertiga Islam. Hal itu karena usaha hamba dengan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan bagian dari amalan hati. Ahmad bin Hanbal berkata bahwa pokok ajaran Islam terangkum dalam tiga hadis; hadis Umar tentang niat, hadis Aisyah tentang amal perbuatan harus mengikuti sunah Nabi, dan hadis al-Nu’man bin Basyir tentang halal, haram dan syubhat.
Pesan Nabi SAW diawali dengan kalimat إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ (perbuatan itu semata-mata (hanyalah) tergantung pada niat). Kalimat ini dibuka dengan kata إنّما (gabungan huruf taukid dan huruf zaidah) sebagai amil yang berfungsi memberikan pembatasan makna dengan menetapkan hukum pada kalimat setelahnya dan menafikan apa yang selainnya. Fungsi pembatasan ada yang mutlaq dan ada yang khusus. Karena itulah sebagian ulama memahami makna amal perbuatan pada hadis ini bersifat umum dan sebagian memahaminya bersifat khusus. Namun teks hadis ini dapat dipahami bahwa tidak ada amalan tanpa niat, dalam artian kualitas suatu amalan dan hasil yang dicapai ditentukan oleh niat yang mengawalinya.
Niat secara bahasa diartikan dengan al-qasd (maksud), al-iradah (keinginan). Ada sebagian pendapat yang membedakan makna niat dengan iradah. Niat spesifik dengan perbuatan orang yang berniat, sedangkan iradah tidak demikian, seperti keinginan seseorang untuk mendapatkan ampunan dari Allah SWT, tidak perlu diniatkan.
Mayoritas ulama salaf berpendapat bahwa niat dan iradah memiliki makna yang sama. Hal ini didasari dengan banyaknya kata iradah di dalam ayat al-Quran yang maknanya adalah niat, di antaranya firman Allah SWT pada ayat berikut;
…مِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الدُّنْيَا وَمِنْكُمْ مَنْ يُرِيدُ الْآخِرَةَ…
Artinya : …Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan diantara kamu ada orang yang menghendaki akhirat… Q.S. Ali Imran: 152
Niat sering diartikan sebagai keinginan yang dibarengi dengan perbuatan. Ada yang mengartikan ‘azimah (tekad) dalam hati. Menurut Abu Sulaiman al-Khatttabi, niat adalah apa yang kamu maksudkan terhadap sesuatu dengan hatimu dan menjatuhkan pilihanmu terhadap sesuatu tersebut. Al-Baidawi mengartikan niat sebagai bentuk keinginan hati terhadap sesuatu yang dilihatnya tepat dan dirasa cocok untuk mendapatkan manfaat atau menolak bahaya baik segera atau di masa datang.
Niat tempatnya di dalam hati dan merupakan amalan hati. Karena itu tidak dipersyaratkan untuk dilafazkan. Seseorang yang melakukan suatu perbuatan, niatnya cukup dalam hati, dan tidak ada seorang pun yang tahu apa yang diniatkannya. Nabi SAW tidak memberikan petunjuk rinci tentang tata cara berniat apakah cukup dalam hati saja, atau dalam hati dan dilafazkan dengan lisan. Itulah sebabnya ada ulama mencukupkan di dalam hati, ada juga yang membolehkan dilafazkan. Bagaimana pun niat tempatnya dalam hati. Namun jika ada yang hatinya sering diliputi keraguan, lalu ia melafazkannya dengan tujuan sekedar untuk membantu menguatkan hatinya maka hal tersebut baik dan dibenarkan.
Hati itu berbolak balik sesuai keadaan luar yang mempengaruhinya. Itulah sebabnya Rasulullah menuntun umatnya untuk rajin berdoa agar dimantapkan hatinya di dalam agama dan ketataan. Hati tempatnya iman dan keyakinan bersemayam, tetapi juga tempatnya keraguan. Ketika hati dihinggapi keraguan, maka lisan membantu menghilangkan keraguan itu dan membawanya ke dalam keyakinan dan kemantapan melaksanakan amalan.
Al-a‘mal (banyak jenis perbuatan) artinya perbuatan manusia yang mencakup amalan hati seperti tawakkal, takut, cinta, amalan lisan, dan amalan fisik. Sebagian ulama di antaranya Ibn Daqiq al-‘Id membatasi makna amal yang dimaksud pada hadis ini hanya amalan syariat seperti wudhu, mandi dan tayammum. Sedangkan amalan yang bukan syariat tidak membutuhkan niat seperti adat kebiasaan makan, minum, berpakaian serta perbuatan meninggalkan atau membersihkan sesuatu, seperti bersuci dari najis. Sebagian yang lain memahami amalan yang dimaksud pada hadis bersifat umum, mencakup seluruh amal perbuatan tanpa ada pengkhususan. Dari dua pendapat tersebut tampaknya pendapat kedua lebih kuat untuk diberpegangi.
Ulama menyebutkan ada dua makna niat; Pertama, pembeda antara ibadah dengan ibadah lainnya dan pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan. Contoh pembeda antara satu ibadah dengan ibadah lainnya adalah; jika ada dua orang yang melaksanakan salat dua raakat, satunya berniat salat fardu sedangkan satu berniat salat sunah. Meskipun keduanya salat dua rakaat di waktu, dan tempat yang sama, namun salat keduanya berbeda karena beda niatnya. Adapun contoh pembeda antara ibadah dengan adat kebiasaan adalah jika dua orang yang mandi pagi, salah seorang niatnya mandi wajib dan satunya niatnya mandi biasa untuk membersihkan badan. contoh lain, dua orang makan bersama dengan menu yang sama di restoran, tetapi perbuatan makannya berbeda karena berbeda niat. Satunya makan dengan niat melaksanakan perintah Allah SWT sebagaimana dalam al-Quran, “makan dan minumlah dan jangan berlebih lebihan”, sedangkan yang satunya makan sebagai rutinitas biasa dan sekedar memenuhi syahwat perutnya.
Kedua, pembeda terhadap maksud perbuatannya. Apakah dikerjakan semata karena Allah SWT atau selain Allah SWT. Misalnya dua orang yang bersedekah dengan jumlah sedekah yang sama, salah satunya bersedekah ikhlas karena Allah SWT, sedangkan yang satunya bersedekah karena riya (ingin dilihat) dan sum’ah (ingin didengar) sebagai orang dermawan. Niat di sini tidak menentukan baik buruknya perbuatan tetapi menentukan hasil perbuatan baik tesebut. Apakah perbuatan baik bersedekah tersebut diridai Allah SWT dan dipahalai atau tidak, atau justru dimurkai Allah SWT dan diganjar dengan dosa, semuanya tergantung pada niat yang mengawalinya.
Pesan Nabi SAW berikutnya adalah وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى (Seseorang hanyalah akan mendapatkan apa yang telah diniatkannya). Menurut Badruddin al-‘Aini ada lima kalimat kedua ini memiliki lima faidah mengikuti kalimat pertama, tiga diantaranya adalah; Pertama, mengutip pendapat al-Nawawi bahwa kalimat kedua mensyaratkan apa yang diniatkan harus ditentukan dengan jelas. Misalnya seseorang yang ketinggalan salat dan akan menggantinya maka tidak cukup hanya berniat mengganti salat, tetapi disyaratkan menentukan salat apa yang akan diganti, apa salat zuhur, asar atau yang lainnya. Kedua. Mengutip pendapat al-Sam’ani bahwa amal perbuatan di luar dari ibadah, bisa mendapatkan pahala jika orang yang melakukan amalan perbuatan tersebut diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Seperti orang yang makan dan minum niatnya agar kuat melaksanakan ketaatan, orang yang tidur niatnya untuk mengistirahatkan badan agar bisa beribadah, suami menggauli istrinya dan sebaliknya dengan tujuan menjaga kehormatan diri dari perbutan zina. Ketiga, amal perbuatan secara lahiriah adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah sehingga diposisikan sebagai ibadah. Jika seseorang melaksanakan amal perbuatannya sebagai kebiasaan rutin semata maka tidak akan mendapatkan pahala kecuali ia niatkan sebagai ibadah, meskipun yang dilakukannya tersebut benar. Adapun menurut al-Qurtubi kalimat kedua tersebut merupakan penegasan syarat niat dan ikhlas pada perbuatan.