Jadilah Pengembara yang Asing (Bag. 1)

Oleh : Abdul Rahman Sakka

Antara Kehidupan Pertama dan Terakhir
Kehidupan yang kita jalani merupakan tahapan menuju kepada kehidupan berikutnya. Fase pertama menuju fase kedua. Ini dipahami dari firman Allah SWT;

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Artinya: Bagaimana kamu terus menerus kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu kemudian menghidupkan kamu kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan? Q.S. Al-Baqarah: 28

Fase kehidupan yang kita jalani disebut dengan kehidupan dunia, juga disebut kehidupan yang pertama, sedangkan kehidupan yang akan kita tuju disebut kehidupan akhirat. Disebut kehidupan pertama, karena Allah menghidupkan manusia pada yang pertama kalinya setelah sebelumnya tidak ada. Disebut kehidupan akhirat, karena menjadi akhir dari perjalanan manusia dan tidak ada lagi tahapan kehidupan setelahnya.

Kehidupan dunia bersinambung dengan kehidupan akhirat. Keduanya memiliki sifat yang berbeda. Kehidupan dunia bersifat fana (sementara), sedangkan kehidupan akhirat bersifat khald (kekal dan abadi). Karena itu, setinggi apa pun keinginan seseorang untuk hidup berlama-lama di dunia, sebagaimana angan-angan orang Yahudi yang ingin hidup seribu tahun, tidak akan pernah terjadi. Semua akan berakhir dan beranjak pergi menuju kehidupan selanjutnya dengan melewati lorong kematian. Demikian pula, bagaimanapun permohonan seseorang di akhirat kelak untuk kembali ke dunia agar bisa memperbaiki kesalahan dan kelalaiannya, atau meratap agar menjadi tanah saja, semuanya akan sia-sia. Manusia akan hidup kekal selamanya di negeri akhirat.

Sebagai tujuan akhir perjalanan hidup, Allah SWT menyiapkan dua tempat kembali, yaitu surga dan neraka. Dipastikan ada yang mendapatkan kekekalannya dalam bahagia surga dengan segala kenikmatannya, bersenang-senang bersama bidadari cantik bermata jeli laksana mutiara yang tersimpan baik. Ada pula yang akan menjumpai kekekalannya di akhirat dengan sengsara dalam siksa api neraka yang menyala-nyala, yang membakar sampai hati sedang ia diikat dalam tiang yang panjang.
Siapa yang kekal di neraka dan siapa yang kekal di surga? Allah SWT berfirman “Siapa saja taat kepada Allah dan RasulNya, maka Dia akan memasukkannya ke dalam surga dengan kekal, dan itu adalah kemenangan yang besar baginya. Siapa saja durhaka kepada Allah dan RasulNya dan melanggar batas-batas hukumNya, pasti ia akan dimasukkan dalam neraka, ia kekal di dalamnya dan mendapat azab yang pedih.”Q.S. al-Nisa:13-14”

Firman Allah SWT di atas menegaskan bahwa masa depan seseorang di akhirat kelak ditentukan oleh perbuatannya di dunia. Sekecil apa pun perbuatan dan sesepele apa pun tindakan seseorang di dunia akan menjadi catatan penting bagi penempatannya di akhirat, di surga atau di neraka. Dengan demikian, jika ingin mendapatkan kekekalan di dalam kenikmatan surga, maka poin pentingnya adalah bagaimana menjalani kehidupan dunia agar bisa eksis dan berdiri istiqamah di atas ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Cara Menjalani Kehidupan Dunia
Rasulullah SAW telah memberi tuntunan cara menjalani kehidupan dunia dengan baik dan benar menuju kehidupan akhirat yang abadi. Di antara tuntunannya diceritakan oleh Abdullah bin Umar ra. bahwa suatu ketika Rasulullah SAW memegang pundaknya lalu memberikan dua pesan.

عَنْ عَبْدِ الله بْن عُمَر رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم بِمَنْكِبَي فَقَالَ : كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ.

Artinya: Dari Abdullah bin Umar ra berkata: Rasulullah SAW pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau pengembara.

Hadis ini diriwayatkan dan dicatatkan oleh banyak perawi di antaranya Imam Bukhari, al-Tirmizi, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal, Ibn Hibban, al-Baihaqi dan al-Tabrani. Semuanya meriwayatkan hadis ini dari jalur yang sama dari Mujahid dari Abdullah bin Umar dari Nabi SAW. Secara kualitas hadis ini sahih, sedangkan secara kuantitas statusnya garib (jalur tunggal) dari sahabat Abdullah bin Umar.

Rasulullah berpesan agar supaya menyikapi kehidupan dunia dengan menjadi laksana orang asing atau menjadi pengembara yang melintasi suatu tempat. Orang asing adalah seseorang yang tidak memiliki rumah sendiri, tidak punya tempat tinggal sendiri, tidak punya negeri yang didiami secara pribadi. Fisiknya berada di negeri yang asing, tapi hatinya tidak terpikat dengan negeri asing tersebut. Keberadaannya yang sementara di negeri asing dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mempersiapkan bekal menuju ke kehidupan selanjutnya. Ibnu Rajab berkata, “Dunia bagi orang beriman bukanlah negeri untuk menetap, bukan pula sebagai tempat tinggal. Orang bertaqwa memposisikan diri sebagai seorang garib (orang asing) yang tinggal sementara di negeri asing, lalu semangat mempersiapkan bekal untuk kembali ke negeri tempat tinggal sebenarnya.”

‘Abir sabil (pengembara) adalah orang yang melintasi suatu negeri asing. Ia terus bergerak dan berjalan. Ia melewati negeri asing lalu singgah sejenak. Saat singgah itulah keindahan dan kelezatan duniawi datang mengelilinginya, merayu dan menggodanya. Namun godaan dan rayuan tersebut tidak melenakannya, justru sukses mengelolanya sebagai bekal terbaik.

Seorang musafir boleh jadi singgah sejenak di suatu tempat untuk merehatkan diri karena kelelahan. Tetapi pengembara yang asing singgah sejenak bukan karena kelelahan, tetapi mempersiapkan bekal untuk perjalanan selanjutnya. Segala bentuk permainan dan sendagurau dunia tidak menjadi tipuan baginya, tetapi modal utama keselamatannya. Pengembara yang asing memposisikan dunia sebagai tempat istirahat sejenak untuk kemudian akan ditinggalkan. Rasulullah SAW bersabda; “Apa artinya dunia bagiku? Apa urusanku dengan dunia? sesungguhnya perumpamaanku dengan perumpamaan dunia ini seperti pengendara yang berteduh di bawah pohon ia istirahat sesaat kemudian meninggalkannya.” HR. Ahmad dan Ibn Majah.

Inilah dua pesan Nabi SAW yang secara khusus dipesankan kepada sahabatnya Abdullah bin Umar, namun juga menjadi pesan bagi kita selaku umatnya yang setia mengikuti sunahnya. Jalani tahapan kehidupan dunia yang singkat dengan memposisikan diri sebagai pengembara yang asing yang tidak menjadikan dunia sebagai tujuan, tetapi sebatas tempat persinggahan menyiapkan bekal menuju tahapan kehidupan selanjutnya.

Segala keindahan dan kelezatan dunia bagi banyak orang adalah kenikmatan yang menipunya di dunia dan malapetaka baginya di akhirat. Tetapi bagi pengembara yang asing tidak demikian. Segala keindahan dan kelezatan tersebut tidak menjadikannya terbuai dan terlena sehingga lupa diri dengan statusnya yang hanya singgah sejenak. Tetapi, ia mampu mengelolanya dengan baik dan menjadikannya sebagai bekal dalam perjalanannya menuju akhirat. Ia mampu mengelola kenikmatan duniawi yang semu dan bersifat sementara menjadi modal mulia yang kelak dipergunakan untuk menukarnya dengan kenikmatan surga yang hakiki dan abadi. (bersambung).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *