Abdul Rahman Sakka
Berbahagialah orang yang mendapatkan cinta Allah swt. Cinta Allah adalah cinta yang tiada tara, tiada terukur dan tiada terbilang, tiada berujung dan tiada bertepi, lebih indah dan lebih mulia dari dunia dan segala isinya. Siapa yang dicintai Allah pasti Allah ridha padanya. Siapa yang diridai Allah, surga pasti tempat kembalinya, bidadari sudah siap menyambutnya.
Menemukan cinta terindah dari Allah sang pemilik cinta sejati tidaklah sulit meraihnya namun juga tidak mudah mendapatkannya. Allah telah menyampaikan dalam firman-Nya beberapa golongan manusia yang akan mendapatkan anugerah cinta termulia dariNya. Salah satunya adalah al-muhsinuun (orang yang selalu berbuat baik). Perbuatan baiknya disebut dengan ihsan.Tidak sulit memang karena manusia tabiatnya senang berbuat baik. Namun tidak semua kebaikan jika dilakukan secara otomatis akan mengantarkan diri menjadi orang al-muhsinuun.
Dalam Al-Quran kalimat “Allah mencintai orang yang berbuat ihsan (baik)” diulang sebanyak lima kali. Adanya pengulangan (tikrar) agar supaya kita menaruh perhatian khusus dan serius terhadap kandungan ayat tersebut, atau hal itu menunjukkan pentingnya persoalan tersebut. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya mewujudkan ihsan dalam kehidupan kita.
Ihsan Milik Semua Orang
Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban ihsan kepada segala sesuatu.” Sabda Nabi tersebut mengajari kita untuk tidak membeda-bedakan orang dalam kebaikan. Kebaikan ukurannya adalah kebutuhan bukan kepentingan. Jika orang butuh kebaikan, maka ulurkan tangan untuk memberinya selagi mampu dan sebisanya. Kebaikan tidak punya batas wilayah, tidak ada sekat kelompok, warna kulit, bahasa, ras bahkan agama. Ihsan adalah kebaikan yang diperuntukkan kepada semua orang bahkan seluruh makhluk. Tidak boleh ada yang mengkaplingnya, tidak boleh ada yang merasa memiliki sendiri atau menjadi milik golongan tertentu. Semua orang berhak mendapatkannya, dan semua orang juga berkewajiban memberikannya kepada yang lain.
Sahl bin Hunaif pernah berada di perkampungan Qadisiyah, tiba-tiba ada jenazah lewat lalu Nabi berdiri diikuti sahabatnya yang lain. Salah seorang di antara mereka memberitahu bahwa jenazah tersebut adalah penduduk non muslim dari orang yahudi. Nabi menjawab “bukankah dia juga manusia?” Ihsan adalah kebaikan universal. Kepada binatang pun kita diperintahkan berbuat baik. Rasulullah saw berpesan “jika kalian menyembelih hewan, maka sembelihlah dengan cara ihsan (baik), yaitu dengan cara menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya”. Tidak menyakitinya, tidak menzaliminya, tidak menghinakannya, dan tidak merendahkannya. Jika binatang saja harus diperlakukan dengan cara ihsan, apalagi dengan manusia keturuan Nabi Adam yang Allah muliakan dengan firmanNya ; “sungguh Kami telah memuliakan anak cucu Adam.”
Dua Penggalan cerita indah dari sabda suci Nabi saw adalah warisan luhur yang harus diwarisi dengan sebaik mungkin agar supaya kita bisa memperkuat keharmonisan sesama umat Islam, menjaga keharmonisan sesama manusia, dan untuk menata keharmonisan alam secara universal. Sabda Nabi ini adalah kekayaan berharga yang harus dijaga dengan baik agar supaya tidak terkaburkan oleh simbolitas beragama, dan tidak terampas oleh ego pribadi atas nama agama.
Ihsan Totalitas Ibadah
Suatu ketika Jibril datang kepada Nabi saw dengan rupa laki-laki gagah dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam dalam bentuk pertanyaan. Jibril bertanya, wahai Muhammad sampaikan kepadaku apa itu ihsan? Nabi menjawab; engkau beribadah kepada Allah seakan-akan melihatnya, jika tidak sanggup melihatnya maka (yakinlah) bahwa Allah melihatmu.” Jawaban Rasulullah tersebut adalah satu dari empat pertanyaan yang ditanyakan Jibril kepadanya.
Ihsan itu ketika kebaikan ditunaikan dengan dasar iman, dibingkai dengan keikhlasan. Dua hal tersebut wajib adanya di setiap amalan yang dilakukan. Belumlah disebut ihsan jika hanya didasari iman tetapi tidak dibingkai dengan keihlasan. Demikian pula amalan baik akan menjadi sia-sia di hadapan Allah jika tidak dengan dasar iman meski dilaksanakan degan tulus ihlas.
Kehidupan ini adalah lapangan yang amat luas untuk ditempati mendirikan bangunan kebaikan ihsan seberapa pun yang kita inginkan. Laksana kebun yang sangat subur untuk ditanami aneka ragam kebaikan sebanyak apa pun yang kita inginkan. Kuncinya adalah bagaimana meletakkan kebaikan tersebut secara totalitas sebagai bentuk al-ta’abbud (perhambaan diri) kepada Allah.
Meletakkan kebaikan dalam altar ibadah kepada Allah, akan memberikan ruang gerak bebas tak terbatas, mudah melakukannya dan fleksibel mengerjakannya. Kebaikan mudah dihadirkan di Mesjid, di rumah, di pasar, di kantor, di jalan dan di mana saja. Kebaikan ada saat sedang ruku dan sujud, saat sedang menahan lapar puasa, saat membaca Al-Quran, saat duduk di parlemen, saat memeriksa pasien, saat mengajar, saat bertransaksi bisnis, saat berkendera di jalan raya, saat membuka baju, saat makan, saat di atas tempat tidur, di mana saja. Sesungguhnya kebaikan selalu ada dan abadi selama kita ada dan menghadirkannya sebagai ibadah.
Ibadah yang paripurna saat diri kita melihat wujud Allah. Melihat wujud Allah bukanlah pandangan mata kepala dengan menyaksikan zatNya yang Maha Suci, tetapi melihat wujud Allah dengan mata hati, melalui pancaran cahaya iman yang merefleksikan segala bentuk karya dan ciptaanNya sehingga menghadirkan kekaguman akan kemahabesaran, kemahasucian, kemahamuliaanNya. Menghadirkan hubungan kedekatan denganNya yang sangat dekat tanpa celah dan penghalang, lebih dekat dengan tali urat leher kita. Menghadirkan rindu dalam bilik hati yang telah dipenuhi cahaya iman ingin segera berjumpa. Menghadirkan kesadaran rasa dan pikir akan pantauan Allah yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, tiada yang luput bagiNya hingga goresan niat yang batal sekalipun.
JIka setiap orang melakoni aktifitasnya dengan kesadaran rasa dan pikir bahwa itu adalah ibadah dan ingin memanen nilai kebaikan yang melimpah ruah, maka baginya cukuplah Allah yang menyaksikan dan menilainya. Kejujuran tidak perlu dipantau dengan CCTV, kedisiplinan tidak perlu dijaga dengan alat check lock. Amanat dan tanggung jawab tidak perlu dikontrol dengan absensi fingerprint. CCTV, check lock, dan fingerprint diadakan sebatas untuk membantu kelengkapan administrasi.
Jika kebaikan di letakkan di atas altar ibadah seperti di atas, maka kebaikan akan mudah disemaikan, diiringi keyakinan bahwa tiada satu pun yang disemaikan dari kebaikan itu yang akan gagal, semuanya akan berhasil dan menghasilkan kebaikan baru, bahkan memberikan kebaikan berganda dengan kelipatan yang tiada terbatas.
Jika kebaikan di letakkan di atas altar ibadah seperti di atas, maka tidak akan ada yang menunda pembayaran sekolah anaknya, tidak akan menunda pembayaran listriknya, cleaning service di sekolah dan atau di kantor tidak akan berpeluh peluh, polisi lalu lintas tidak perlu repot mengatur jalan raya. Semua bergerak dengan kekuatan ihsan.
Pada akhirnya keharmonisan dapat diwujudkan, keadilan dapat ditegakkan, kesejahteraan dapat dihadirkan, cinta Allah pun akan diperolehnya, keselamatan dunia akhirat akan pasti dapat diraih, surga tempat kembali, bidadari telah menanti untuk menemani. Wallahu ‘alam